Jumat, 21 Mei 2010

Kemuliaan Perempuan

Perempuan, topik yang selalu menarik untuk dibicarakan, sekaligus menyedihkan. Menarik, karena perbincangan ini berkenaan langsung dengan diri kita sebagai manusia yang secara biologis tercipta sebagai laki-laki dan perempuan. Menyedihkan, karena secara empiris-sosiologis tidak bisa dinafikan masih ada ketidakadilan sosial yang terjadi terhadap perempuan. Dan ketidakadilan ini barang kali merupakan ketidakadilan tertua dalam sejarah manusia.

Belum lama kita memperingati hari kartini. Sosok perempuan lembut dan cerdas yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Sungguh perjuangan yang tidak mudah dan harus diapresiasi meski dalam perkembangannya, dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM), ide persamaan hak sering dipahami secara serampangan oleh sekelompok orang sehingga sulit membedakan mana pembela perempuan sejati yang menjunjung tinggi perempuan sesuai kodratnya dan mana feminisme.

Namun demikian, yang harus lebih kita sadari adalah bahwa jauh sebelum Kartini lahir sudah ada seorang manusia sempurna yang begitu gigih dan memiliki peranan yang sangat penting dalam perjuangan untuk mengangkat derajat kaum perempuan. Meski ia bukan seorang perempuan, namun perjuangannya membuktikan betapa Islam menghargai dan memuliakan seorang perempuan. Ya, dialah Muhammad saw. Penyebutan ibu tiga kali dan ayah satu kali bukannya tanpa arti, namun tersirat makna bahwa yang lebih diutamakan untuk dihargai adalah ibu, bukan berarti pula tidak menghormati ayah.

Rumi dalam Mastnawinya menegaskan bahwa sosok perempuan, karena kemuliaan dan qodratinya, mampu membiaskan “bayang-bayang” Tuhan di semesta ini, yang oleh Ibnu Arabi disebut sebagai alam mikrokosmos (al-alam al-shaghir). Dalam diri perempuan tercermin bagian-bagian dari jagad raya atau makrokosmos ini. Oleh karena itu untuk meningkatkan derajat kewalian para sufi ahli ma’rifat, salah satu caranya adalah dengan mencintai dan menyayangi perempuan (Murata, 2000: 249).

Mengapa demikian? Bukankah selama ini perempuan sering dianggap sebagai tali jeratnya syetan (haba’il al-syaithan), perempuan dianggap sosok penggoda di dunia, perempuan amat rendah derajatnya, bahkan dalam tradisi Arab jahiliyyah sosok perempuan dianggap manifestasi dari syetan di dunia. Ditambah lagi banyak riwayat yang menyatakan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan?

Ternyata, stereotipe miring tentang perempuan tersebut, tidak diamini oleh para sufi seperti Ibnu Arabi, al-Jandi, al-Kasyani, dan Rumi, bahkan dengan lantang Ibnu Arabi mengatakan bahwa perempuan merupakan “cermin” pantulan cahaya Tuhan yang paling sempurna di dunia.

Berdasarkan teori insan kamil nya, Ibnu Arabi berpendapat hanya ada satu realitas tunggal di semesta ini, yaitu Allah. Sedangkan semesta ini hanya sebagai wadah dari pantulan cahaya-Nya. Penampakkan (tajalli) Allah pada alam ini, dikarenakan Ia (Allah) ingin dikenal dan ingin melihat citra diri-Nya melalui alam tersebut. Untuk itu, Ia memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam. Dengan demikian, alam fenomena ini merupakan perwujudan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang abadi.

Akan tetapi, alam empiris yang serba ganda ini, berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara sempurna dan utuh. Artinya bagian-bagian alam ini, hanya mampu mencitrakan bagian-bagian dari sifat-sifat dan nama-nama-Nya secara sepotong-potong, tidak utuh dan sempurna. Tuhan, baru dapat melihat citra diri-Nya secara sempurna dan utuh pada diri manusia, yang oleh Ibnu Arabi disebut Insan Kamil, yaitu orang yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara sempurna.

Sosok Insan Kamil tersebut tidak mengenal jenis kelamin, suku dan golongan (atqaakum). Dan sepanjang hayat model Insan Kamil yang paling sempurna adalah Muhammad Putra Abdullah. Kemudian, pada masa setelahnya, siapakah yang lebih “cocok” bisa mencerminkan cahaya Tuhan? Ternyata, para sufi termasuk Jalaluddin Rumi dan Ibnu Arabi, lebih memilih sosok perempuan sebagai “cermin” yang paling bersih mampu membiaskan “bayang-bayang” Tuhan di dunia ini.

Hal ini dikarenakan secara qodrati, perempuan mempunyai “kesamaan” dengan Tuhan, yaitu mencipta, bahkan sebagai locus pecipta manusia sempurna (akmal al-Insan al-Kamil) Muhammad SAW. Lebih dari itu, pencitraan Tuhan dalam diri perempuan merupakan “penyatuan” antara sifat Aktif Tuhan dalam mencipta dan berkreasi, yang dalam istilah Tao disebut Yang, dengan sifat pasif perempuan (Yin) yang hanya sebagai tempat aktifitas.

Oleh karena itu, sungguh tepat kalau Ibnu Arabi menyebut pencitraan Tuhan dalam diri perempuan ini sebagai cara pengungkapan atau tajalli Tuhan yang paling lengkap dan paling sempurna, karena terlihat sekaligus adanya sifat Yin dan Yang, yang berupa keagungan Tuhan (Jalal) dan keindahan Tuhan (Jamal) dalam diri sosok seorang perempuan. Berkaitan dengan kesempurnaan tajalli Tuhan pada perempuan ini, Ibnu Arabi mengatakan dalam Futuhat Maakkiyyat:

Aku dahulu tidak menyukai kaum perempuan dan hubungan seksual ketika pertama-tama memasuki jalan ini (tasawuf). Hal ini berlangsung kira-kira delapan belas tahun hingga Aku menyaksikan tingkat yang lebih tinggi. Pada saat itu Tuhan telah membuat Aku mencintai perempuan, dan Aku menjadi makluk yang paling kuat dalam menjaga dan memenuhi hak-haknya.

Kecintaan seseorang kepada sesuatu, yang pada akhirnya mampu membawanya menyerap sifat-sifat dan nama-nama Tuhan, itu berarti sesuatu tersebut, memang telah menjadi “cermin” Tuhan. Ibarat orang yang mampu melihat matahari ditempat rindang melalui cermin, maka berarti cermin telah mampu memantulkan cahaya matahari dengan sempurna.

Dalam satu hadisnya, Nabi pernah mengatakan; “Tiga hal dari dunia ini dibuat memikat padaku: yaitu kaum perempuan, parfum, dan kesejukan mataku ketika shalat”(HR. Ibnu Majah). Nabi Muhammad, sebagai sosok Insan Kamil paling ideal (akmal al-Insan al-Kamil) dibuat tertarik dan mencintai tiga hal yang tentunya baik, dan menurut para sufi mampu menghantarkan pada Tuhan. Dalam shalat, Nabi menemukan kedamaian dan merasa beraudiensi dengan Tuhan. Kemudian dalam hal bau-bauan harum, ini akan membawa pada pencitraan keindahan (jamal) Tuhan, dan pada sosok perempuan, ketertarikan itu akan membawa pada alam “imajinasi Ketuhanan”. Ini memperlihatkaan bahwa sosok perempuan itu menyimpan kemampuan yang luar biasa, salah satunya adalah sebagai “cermin Tuhan” di dunia.

Menurut para sufi, segala cinta dan kesenangan itu tertuju pada Tuhan. Begitupun kecintaan seseorang pada perempuan, itu sebenarnya perwujudan kecintaan pada Tuhan. Seperti halnya Nabi Muhammad sebagai manusia paling sempurna yang tidak mungkin salah menunjukan rasa cintanya, itu mencintai kaum perempuan. Hal ini menunjukan bahwa pada hal-hal yang dicintai Nabi itu terdapat kebaikan dan kemuliaan, karena Nabi tidak mungkin dibuat mencintai sesuatu selain Tuhan.

Jadi, secara keseluruhan, sebenarnya kaum perempuan mempunyai potensi jasmaniyah maupun spiritual untuk memantulkan “bayangan Tuhan” di alam ini. Permasalahannya kemudian, apakah potensi itu dilatih atau tidak. Ketika kaum perempuan tidak mau mengasah dan menjaga potensinya, maka dia hanya laksana cermin buram lagi retak yang tidak bermakna, lebih-lebih mampu membiaskan cahaya suci ketuhanan di alam semesta.

Dan meski tidak bisa menjadi sosok ideal “cermin Tuhan” secara utuh, paling tidak bisa membiaskan sebagian atau mampu memantulkan unsur sifat keindahan Tuhan (jamal) dari dalam dirinya. Kalau inipun masih belum bisa, maka paling tidak setitik sinar Tuhan (nur Allah) harus ada dihatinya, sebagai petunjuk jalan, dan obor dalam keremangan kehidupan.